Friday, January 18, 2008

Antara Ulum al Qur'an dan Ilmu Tafsir

A. PENDAHULUAN

Al Qur’an adalah al nur – wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW, sebagai undang-undang yang adil dan syari’at yang kekal, sebagai pelita bersinar terang dan petunjuk yang nyata. Di dalamnya termuat berita tentang umat masa lampau dan umat masa mendatang; di dalamnya terdapat hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia.

Khitab al Qur’an berlaku hingga akhir zaman, oleh karenanya al Qur’an harus senantiasa relevan dengan perubahan dan perkembangan zaman. Sehingga hukum yang terdapat dalam al Qur’an itu bersifat pokok dan global, bukan sesuatu yang terperinci. Pantas saja bila dalam term hukum Islam, al Qur’an merupakan syara’ sebagai sumber hukum uatama yang berisifat ideal yang dijabarkan dalam tataran teknis melalui ijtihad menjadi hukum fiqih sebagai hukum amaliyah.

Al Qur’an merupakan mukjizat Muhammad yang terbsar dimana al Qur’an merupakan kitab penyempurna dari kitab-kitab yang diturunkan Allah sebelumnya, oleh karena itu tak ada sesuatu apapun yang tidak termaktub dalam al Qur’an. Al Qur’an juga merupakan sumber ilmu pengetahuan yang tidak akan pernah habis bila digali dan dikembangkan.

Atas hal tersebut diatas al Qur’an mesti dapat difahami secara komprehensif oleh setiap orang yang hendak mengamalkannya, sedangkan ayat-ayat yang terdapat dalam al Qur’an sendiri tidak semuanya dapat di fahami secara langsung, banyak sekali dalam bahasa arab lafadz-lafadza yang musytarok (bermakna lebih dari satu), atau ayat-ayat yang mutasyabih, dll. Sehingga ayat al Qur’an perlu ditafsirkan atau dijelaskan kembali agar makna yang dimaksudkan dapat dicerna.

Nabi Muhammad SAW adalah penafsir al Qur’an dengan sunnah qauliyyah (perkataan) dan sunnah fi’liyyah-nya (perbuatan)[1], sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya :

Dan Kami turunkan kepadamu al Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan . (Q.S. al Nahl, 16 : 44)

Dalam penafsiran-penafsiran Muhammad SAW terhadap al Quran diantaranya ada yang ditafsirakan dengan ayat-ayat al Qur’an seperti sebagaimana di Takhrij oleh Ahmad, al Tirmidzi dan lainnya dari Abi Ibn Hibban yang berkata; Rasulullah sAW bersabda : Yang dimaksud oleh ayat adalah umat Yahudi dan adalah umat Nasrani.

Pada masa selanjutnya penafsiran-penafsiran terhadap ayat al Qur’an disandarkan kepada para sahabat dan para tabi’in, dimana corak penafsiran seperti ini dikenal menjadi tafsir bi al ma’tsûr.

Pada masa nabi Muhammad SAW, ilmu-ilmu al Qurân belum terlahir sebagai suatu disiplin ilmu, penafsiran dan penerangan makna-makna al Qur’an hanya bersifat halaqah dari nabi kepada para sahabat. Begitu pula dikalangan sahabat pengetahuan ini belum dibukukan mengingat kondisinya belum membutuhkan sebab kemampuan para sahabat yang cukup dalam dalam enghafal dan memahami al Qurân. Disamping itu, kemampuan mereka dalam menulis relatif sedikit, bahkanketika itu ada larangan dari Nabi Muhammad untuk tidak menuliskan selain al Qurân[2].

Pada masa Pemerintahan ‘Utsmân bin ‘Affân, ketika bangsa Arab mulai mengadakna kontak dengan bangsa-bangsa lain, mulai terlihat ada perselisihan dikalangan umat Islam, khususnya dala hal bacaan al Qurân. Sehingga ‘Utsmân melakukan penyeragaman tulisan al Qurân dengan menyalin sebuah Mushaf al Imâm (induk) yang disalin dari naskah-naskah aslinya. Keberhasilan ‘Utsmân dalam menyalin sebuah Mushaf al Imâm ini berarti ia telah menjadi peletak pertama bagi tumbuh dan berkembangnya ‘Ulum al Qurân yang kemudian popular dengan ‘Ilm Rasm al Qurân.

Begitu pula pada masa ‘Ali bin Abi Thâlib, perluasan Islam telah mencapai kawasan luar Arabia. Mereka-mereka yang bukan bangsa Arab dan tidak menguasai bahasa Arab sering melakukan kesalahan-kesalahan dalam membaca al Qurân karena tidak mengerti perubahan-perubahan bacaan akhir kalimat-kalimat dalam al Qurân(i’rab). Sedangkan al Qurân ketika itu belumd iberi harkat maupun tanda baca lainnya untuk memudahkan membaca al Qurân. Oleh karena itu, ‘Ali memerintahkan Abu al Aswad al Dualiy (w.691 H) untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab dalam upaya memelihara bahasa al Qurân. Tindakan ‘ali ini kemudian dianggap sebagai perintis lahirnya ‘Ilm al Nahw dan ‘Ilm I’râb al Qurân.

Pada masa pemerintahan khilafah Bani Umayyah dan Bani Abasiyyah, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan pemahaman dan kandungan al Qurân semakin dikembangkan sehingga terlahirlah ‘Ilm Asbâb al-Nuzûl, ‘Ilm al-Makiy wa al-Madaniy, ‘Ilm al Nâsikh wa al-Mansûkh, ‘Ilm Gharîb Alqurân, ‘Ilm al Tafsir dan sebagainya yang diantaranya dipelopori oleh ‘Atha Bin Abi Rabbah, Ikrimah (maula Ibn ‘Abbas), Qatadah, Hsan al-Bashr, Sa’îd Bin Zubair, Zaid bin Aslâm di Medinah (kalangan tabi’in)[3].

B. PENGERTIAN ‘ULUM AL-QURÂN DAN ILMU TAFSIR

Definisi ‘Ulm al-Qurân

Perkataan ‘ulum al-Qurân berasal dari bahasa Arab, kata majemuk yang tersusun dari dua kata, yaitu kata ‘ulûm (bentuk jamak dari kata ‘ilm) dan kata alqurân[4].

Kata ‘ulum, secara etimologis, merupakan bentuk mashdar (infinitif) dari kata ‘alima-ya’lamu, yang bersinonim dengan kata al fahm (faham) dan al ma’rifah (pengetahuan)[5]. Hal ini sejalan dengan The Liang Gie[6] bahwa istilah ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang cukup bermakna ganda, yaitu mengandung lebih daripada satua rti. Menurut cakupannya pertama-tama ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu kebulatan Ilmu dalam arti science in general). Arti kedua dari ilmu menunjuk kepada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari suatu pokok soal tertentu.

Pengertian ilmu secara filsafat mesti mengandung tiga unsur, yaitu adanya pengetahuan, metodea dan aktivitas[7]. Secara sederhana para filosof mendefiniskan ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis (any systematic body of knowledge).

Sedangkan kata al Qurân, secara bahasa adalah bentuk mashdar dari kata kerja (fi’il) qara’a-yaqrau yang bersinonim dengan kata qira’ah, berarti bacaan. Definisi ini dapat bersesuai dengan apa yang ditunjukan dalam Q.S. al-Qiyamah ayat 17 – 18 :

“Sesungguhnya Kamilah yang mengumpulkannya dan Kami pula yang membacakannya. Jika Kami telah membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu”.

Dari kata tersebut, makna mashdarnya kemudian dinukil menjadi nama bagi wahyu yang merupakan muk’jizat yang diturunkan Allah kepada Muhammad SAW[8].

Terdapat beberapa definisi mengenai al Qur’an seperti dibawah ini :

Muhammad ‘Ali al-Shaâbûniy[9] berpendapat :

“Kalam Allah yang mukjiz, dinuzulkan kepada Nabi dan Rasul terakhir (Muhammad) melalui perantaraan al-Amîn (Jibril a.s), ditulis dalam shâhif (lembaran-lembaran), sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dipandang beribadah membacanya, diawali dengan surat al-Fâtihat dan diakhiri dengan surat al-Nas”.

Mannâ’ al-Qaththân[10] berpendapat :

“Kalam Allah yang dinuzulkan kepada Nabi Muhammad dipandang beribadah membacanya”.

Adapun pengertian kata al Qurâan yang disepakati oleh para ulama, baik dari kalangan ulama kalam, ulama ushul, ulama fiqh maupun ulama bahasa sebagai berikut :

“Alqurân adalah lafal yang dinuzulkan kepada Nabi Muhammad saw, mulai dari surat al-Fatihat hingga akhir surat al-Nas”.[11]

Pengertian ‘Ulum al-Qurân

Untuk memahami pertain ‘ulum al-qurâan secara jelas dapat kita lihat beberapa definisi di bawah ini :

‘Ali al-Shâbûniy [12] memberikan pengertian :

“Pembahasan yang berhubungan dengan Kitab (al-Qurâan) yang suci, berupa nuzul al-Qurân, pengumpulan al-Qurân, penyusunan al-Qurân, pembukuan al-Qurân, pengetahuan asbâb al-nuzul al-Qurân, al-makkiy wa al-madâniy, dan pengetahuan al-nâsikh wa al-mansûkh, dan al-muhkam wa al-mutasyâbih, dan selain daripada itu dari berbagai pembahasan lain yang banyak yang berhubungan dengan al-Qurân”.

Tidak jauh berbeda dengan definisi di atas al-Zarqaniy [13], ia mendefinisakan ‘ulum al-Qurân sebagai :

“(Yatitu) pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan alqurân dari segi turun (nuzûl)nya, urutan (tartîb)nya, pengumpulan (jam’)nya, penulisan (kitâbah)nya, bacaan (qira’ah)nya, penafsirannya, kemukjizatan (I’jaz)nya, nâsikh dan mansûkhnya, menghilangkan keragu-raguan terhadapnya, dan lain-lain”.

Dari dua pengertian diatas dapat diketahui bahwasannya ‘ulum al-Qurân merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan alqurân, baik dari segi eksistensinya sebagai al-Qurân maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung didalamnya.

‘Ulum al-Qurâan merupakan disiplin ilmu yang sangat luas, mencakup semua ilmu yang ada hubungannya dengan al-Qurâan, baik ilmu agama maupun ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balâghah dan ilmu I’râb alqurân. Indikasinya dapat dilihar dari ungkapan mabâhits (segala aspek pembahasan) dan ungkapan wa nahw dzâlik dari definisi diatas. Lafadz mabâhits merupakan sighah muntaha al-jumu’ yang berarti bentuk jamak yang tidak terhingga, sedangkan lafadz wa nahw dzâlik menunjukan pembahasan apapun yang tidak dapat disebutkan jumlahnya, sejauh menyoroti aspek-aspek al Qurân termasuk ‘ulum al -Qurân[14].

Pengertian Ilmu Tafsir

Secara bahasa tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan[15]. Makna ini sesuai dengan firman Allah :

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya” (Q.S. Al furqon, 25 : 33)

Lafadz tafsir diambil dari kata al-fasar yang berarti penjelasan dan pembukaan.

Adapun definisi tafsir menurut Istilah, menurut sebaian ulama berpendapat bahwa tafsir bukan merupakan bagian dari ilmu-ilmu karena ia tidak terdiri dari qawâ’id-qawâ’id. Akan tetapi menurut sebagian pendapat ulama lain bahwa tafsir merupakan suatu ilmu, karena didalam upaya memahami al Qur’an, tafsir menggunakan kaidah-kaidah juz’iyyah yang bemuara pada sauatu kaidah pokok (kulliyyat)[16]. Al-Dzahabiy sendiri mengikuti pendapat kedua yag menyatakan bahwa tafsir merupakan suatu ilmu.

Selanjutnya al-Tafsîr wa al-Mufassirûn[17] dijelaskan terdapat perbedaan definisi dari ilmu tafsir, sebagai berikut :

  1. Abu Hayyân[18] mendefinisikan ilmu tafsir :

“Ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafadz-lafadz al-qurâan (ilmu qira’at), makna-makna yang ditunjuknya (ilmu bahasa), dan hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri atau tersusun (mencakup ilmu tashrîf, I’râb, bayân dan badî’), serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun, serta penutupnya (pengetahuan nasîkh mansûkh, kisah-kisah dalam alqurâan dan lain-lain)”.

  1. al Zamakhsyariy[19], mendefinisikan ilmu tafsir :

“Ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada nabi-Nya, menjelaskan maknanya dan mengeluarkan hukumnya”.

  1. Sebagain ulama berpendapat[20] :

“Ilmu yang membahas berbagai hal dalam al-qurân yang suci, berupa pembahasan dilalahnya sesuai dengan maksud Allah SWT, sesuai dengan kemampuan akal manusia”.

  1. Sebagian ulama yang lain berpendapat[21] :

“Ilmu tentang turunnya ayat alqurâan, kisah-kisahnya, sebab turun ayat, urutan makkiy dan madâniy, muhkam dan mutasyabihnya, nasîkh dan manshkhnya, khâsh dan ‘amnya, muthlaq dan muqayyadnya, mujmal dan mufassirnya, halâl dan harâmnya, janji dan ancaman, perintah dan larangannya, ibarat dan perumpamannya”.

Bila melihat pada keempat definisi diatas, maka pada definisi pertama dan keempat lebih mencerminkan bagian-bagian dari ilmu yang digunakan dapat menafsirkan al-Qurân sedangkan pada definisi yang kedua dan ketiga memproyeksikan pada tujuannya ilmu tafsir dalam memahami lafadz.

Meskipun demikian, dari keempat definisi diatas pada dasarnya pengertian ilmu tafsir merupakan Ilmu yang membahas bagaimana cara mengetahui apa yang dimaksud oleh Allah berkaitan dengan makna suatu lafadz sesuai dengan kadar kemampuan akal manusia termasuk didalamnya adalah segala sesuatu perangkat yang dibutuhkan untuk mewujudkan hal diatas berupa pemahaman makna dan penjelasan maksud serta tujuan lafadz.

Dalam ‘ulum alqurân dikenla pula istilah takwil. Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara tafsir dan takwil. Abu Ubaidah berpendapat bahwa keduanya memiliki pengertian yang sama, sedangkan al-raghib al-ishfahaniy berpendapat bahwa tafsir mempunyi pengertian lebih umum dan lebih banyak dipergunakan pada lafadz-lafadz dan kosa kata-kosa kata dalam kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah dan kitab-kitab lainnya, sedangkan takwil lebih banyak dipergunakan pada makna-makna dan kalimat-kalimat dalam itab-kitab yang diuturnkan oleh Allah saja. Adapun al Maturidiy berpendapat bahwa tafsir berarti memastikan bahwa yang dikehendaki oleh Allah adalah demikian, sedangkan takwil berarti mentarjihkan satu diantara makna-makna yang dimungkinkan oleh suatu lafadz dengan tanpa memastikan.



[1] Tafsir al Maraghi, Juz I, hlm 5.

[2] Al Shubhi Shâlih, Mabâhits fi ‘Ulûm al Qurân, hal 120.

[3] Supiana – M. Karman, Ulumul Quran Dan Pengenalan Metodologi Tafsir, hal 43.

[4] Op.cit, hal 29.

[5] Muhammad ‘abdu al-‘adzîm al-zaqaniy, Manâhil al-‘rfân, hal 14.

[6] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, hal 85.

[7] The Liang Gie. Op.cit hal 85

[8] Al Zarqani, op.cit, hal 16.

[9] Muhammad ‘Ali al-Shâbûniy, al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qurân, hal 8.

[10] Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulum alqurâan, hal 21.

[11] Al-Zarqaniy, op.cit. hal 19.

[12] ‘Ali al-Shâbûniy, Op.cit, hal 8.

[13] Al-Zarqaniy, Op.cit. hal

[14] Supiana – M. Karman, Op.Cit, hal 38.

[15] ‘Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, hal 3.

[16] Muhammad Husain al Dzahabiy, al-Tafsîr wa al-Muafassirûn, jilid I, hal 13-14.

[17] Ibid.

[18] Abu Hayyâan, al-Bahîr al-Muhîth, Juz I, hal 13-14.

[19] Al Zamakhsyariy, Minhaj al-Furqân, Jilid 2, hal 6.

[20] Jalâl al-dân ‘abd al-rahmân al-suyûthiy, al-itqân fi al-‘ulûm al-qurân, Jilid II, 174.

[21] ibid

No comments:

Post a Comment